Dekker



Suatu siang di pertengahan 1897, seorang kuli perkebunan berjalan menghampiri mantan pengawas perkebunannya. Si kuli yang asli pribumi sudah terlihat uzur dan tampak lusuh, sementara atasannya yang baru saja memutuskan resign adalah seorang Indo berumur 18 tahun. “Terpujilah ibu yang melahirkan Anda,” kata si kuli, takzim. Pemuda di hadapannya itu langsung memasang ekspresi linglung. Dia sama sekali tak mengenalnya, apalagi dekat dengan buruh tua tersebut. Belum selesai dibuat bingung, si pak tua kembali menumpahkan ­uneg-uneg-nya, “Anda tuan muda, telah memperlakukan kami layaknya manusia.”

Percakapan di atas menjadi rekaman sejarah tersendiri bagi Kota Malang, tepatnya di perkebunan kopi Soember Doeren, di kaki Gunung Semeru. Kebun kopi itu kini telah tiada. Tenggelam sudah kisah kejayaan perkebunan milik Handelsvereniging Amsterdam itu, seiring dengan tenggelamnya kisah eksploitasi para buruh yang pernah mengabdi di sana. Gambaran sejarah kelam kemanusiaan tersebut, kini hanya bisa kita lihat dalam The Lion and the Gadfly: Dutch Colonialsm and the Spirit of E.F.E Douwes Dekker, buku karya Paul W. van der Veur.

Pantas memang, jika si pemuda 18 tahun dibuat bingung. Sebab bagi sang buruh, perlakuan sang atasan telah mengangkat kembali harkatnya sebagai manusia. Sedang bagi si pemuda, menolak dan melawan segala bentuk ekspoitasi manusia adalah hal yang wajar: jiwanya sudah tergerak sejak awal untuk melakukannya. Meski pada akhirnya ia harus menerima resiko. Si pemuda Indo yang masih bekerja selama setahun itu harus keluar dari tempat kerjanya, sebab tak sepaham dengan para atasannya yang tak manusiawi.

Demikianlah sikap Douwes Dekker sedari muda. Pria Indo berdarah campuran Belanda, Perancis, Jerman, dan Jawa itu selalu lantang dalam menentang kolonialisme. Ia bagaikan duri dalam daging penjajahan Belanda yang berlangsung lama. Ia, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, masih memiliki hubungan darah dengan sang pemberontak penulis novel Max Havelaar (1860), Eduard Douwes Dekker (Multatuli). Barangkali, lewat novel yang juga dikagumi Hermann Hesse itu, Douwes Dekker kelak tergerak untuk menulis novelnya sendiri: Simaan de Javaan (1908), tentang ketidakadilan pemerintah Hindia-Belanda. “Ini novel satu-satunya yang menampilkan orang Belanda sebagai orang jahat,” komentar Kees van Dijk, peneliti KITLV di Leiden.

Pria Indo kelahiran Pasuruan itu memang telah melampaui jamannya. Kecerdasan berpikir dan kecadasannya dalam bertindak, telah membuat pemerintah kolonial kalang-kabut. Ia pun dimasukkan dalam daftar hitam orang-orang yang dianggap berbahaya. Tahun 1912, Douwes Dekker mendirikan Indische Partij. Partai politik pertama di Indonesia yang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan Hindia. Partai ini disambut gegap-gempita oleh masyarakat, sebab pergerakannya lebih radikal dan konkrit, namun tetap inklusif, dibanding Boedi Oetomo yang lembek dan etnis-sentris pada waktu itu.

Indische Partij tak berlangsung lama. Setelah bertahan selama tujuh bulan, partai beranggotakan 7.300-an orang itu akhirnya benar-benar dilarang oleh pemerintah. Indische Partij mati. Tapi tidak dengan semangat pendirinya. Douwes Dekker mencari cara lain untuk mencari keadilan bagi rakyat pribumi. Ia tak tahan melihat penindasan berlarut-larut di depan matanya. Memakai nama pena “DD”, Douwes Dekker malang melintang di dunia jurnalistik. Tulisan-tulisannya pedas pada penindas. Kritik-kritiknya pada pemerintah tak pernah pandang bulu. Beberapa surat kabar seperti De Expres, Bataviaasch Niewsblad, Het Tijdschirft, De Beweging, dan Nieuwe Arnhemsche Courant, sudah biasa dihiasi artikel-artikel tajam DD. Ia pun sempat mendapat julukan “spesial” dari pemerintah sebagai seorang oportunis: DD schoelje alias DD si bangsat.

Memasuki ranah pendidikan, Douwes Dekker mendirikan Ksatrian Instituut di Bandung, tahun 1924. Ia menjabat sebagai ketua yayasan. Sedangkan istri keduanya, Johanna Petronella, bertugas sebagai sekertaris sekaligus bendahara. Demi melanjutkan cita-cita Indische Partij, DD merancang sekolah menengah pertamanya tersebut berbeda dengan sekolah Belanda yang lain. “Sebuah sekolah yang mempersiapkan para kesatria bagi Indonesia merdeka,” kata P.F. Dahler, kawan politik DD. Ia dan istrinya memang sejak awal menghendaki sekolah yang tak mau berkompromi dengan Belanda. Sikap mereka bisa dilihat ketika banyak sekolah-sekolah ramai merayakan hari kelahiran Ratu Belanda, Wilhelmina. “Tak perlu ada perayaan apapun. Dia bukan ratu kita,” ujar Johanna lantang, ketika pidato di depan murid-muridnya.

Dalam gerakan akar rumput (grassroot), DD tak hentinya meniupkan semangat perlawanan pada para petani dan buruh pabrik, baik secara langsung maupun tak langsung. Para petani dan buruh mogok kerja. Mereka menuntut upah layak. Empat gulden tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lagipula, upah itu sama sekali tak layak dengan jam kerja mereka yang bisa mencapai 14-18 jam per hari. Selain di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten, DD juga turun langsung ke perkebunan kopi Soember Doeren di Malang tadi.

Bekerja sebagai opzichter atau pengawas perkebunan, DD menerapkan sistem tersendiri yang sama sekali berbeda dengan cara para atasannya. Ia memperlakukan para buruh di bawah pengawasannya dengan baik dan sepantasnya. Masalah pun muncul. R.W. Jesse, atasannya, sering menegurnya agar tak terlalu lembut pada pribumi. Tapi DD menolak. Ia memutuskan resign dari tempatnya bekerja. Ketika sang mandor itu keluar, puluhan buruh mengantarnya dengan berjalan kaki selama empat jam, sebelum akhirnya mereka kembali ke perkebunan.

Sepak terjang DD tak selalu mulus. Bahkan lebih sering menghadapi jalan terjal. Berkali-kali ia dipenjara, diasingkan ke tempat pembuangan, hingga lolos dari hukuman mati. Sungguh menyedihkan. Untuk apa Douwes Dekker melakukan hal “menyimpang” yang haram dilakukan oleh para keturunan Belanda lain? Bukankah sebagai seorang Indo, ia bisa memilih mendekat pada para penguasa, dan hidup dalam kemewahan, atau setidaknya mendapat fasilitas yang lebih layak dari warga pribumi? Ia malah menyeburkan diri pada dunia “kotor” orang pinggiran. Dunia yang bahkan –meminjam istilah Bung Karno- lebih dari Vivere pericoloso alias nyerempet-nyerempet bahaya; apa yang DD lakukan sudah jelas membahayakan hidupnya.

Tapi begitulah Douwes Dekker. Ia lebih nyaman berada di sisi orang-orang “kalah”. Kalah dari seleksi alam dan hukum rimba yang selalu ada di setiap jamannya. Kalah oleh kekuasaan yang susah sekali berlaku adil bagi kaumnya. DD rela menjadi tameng mereka. Barangkali, ia akan lebih sakit jika hanya diam, sedang hati nuraninya terus-menerus tersiksa mendengar rintih kelelahan dan tangis penderitaan. Rasa cinta DD pada Indonesia terlampau besar. Tak heran, jika orang sekelas Bung Karno banyak berguru darinya:

“Aku bersyukur bisa mereguk air nasionalisme dari Tjipto Mangoenkoesoemo, dari Ernest Douwes Dekker. Aku bersyukur, dari merekalah aku mendapat pengajaran.”


Yogyakarta, 9/2/2016

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram